Isnin, 19 Julai 2010

mampuhkah kita mencintai sepertinya?



Ada Sebuah kisah tentang cinta yang sebenar-benar cinta yang dicontohkan Allah melalui kehidupan Rasul-Nya. Pagi itu, walaupun langit telah mulai menguning, burung-burung gurun enggan mengepakkan sayap.

Pagi itu, Rasalullah dengan suara terbatas memberikan khutbah,"Wahai umatku, kita semua ada dalam bertakwalah kepada-Nya. Kuwariskan dua perkara pada kalian, Al-Qur'an dan Sunnahku. Barang siapa mencintai sunnahku, berarti mencintai aku dan kelak orang-orang yang mencintaiku, akan masuk syurga bersama-samaku.”Khutbah singkat itu diakhiri dengan pandangan mata Rasulullah yang tenang dan penuh minat menatap sahabatnya satu persatu.

Abu Bakar menatap mata itu dengan berkaca-kaca, umar dadanya naik turun menahan dan tangisannya. Usman menghela nafas panjang dan Ali menundukan kepalanya dalam-dalam. Isyarat itu telah datang, saatnya sudah tiba. “Rasulullah akan meninggalkan kita semua,” keluh hati semua sahabat kala itu. Manusia tercinta itu, hampir selesai menunaikan tugasnya di dunia.

 
Tanda-tanda itu semakin kuat, tatkala Ali dan Fadhal dengan cemas menangkap Rasulullah yang berkeadaan lemah dan goyah ketika turun dari mimbar. Disaat itu, kalau mampu, seluruh sahabat yang hadir disana pasti akan menahan detik-detik berlalu.

Matahari kian tinggi, tapi pintu rumah Rasulullah masih tertutup. Sedang di dalamnya, Rasulullah sedang membasahi pelepah kurma yang menjadi alas tidurnya. Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam. “Bolehkah saya masuk?” tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkan masuk, “Maaf kanlah, ayahku sedang demam,” kata Fatimah yang membalikan badan dan menutup pintu.

Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah, “Siapakah itu, wahai anakku?” “tak tahulah ayahku, orang sepertinya baru sekali ini aku melihanya,” tutur Fatimah lembut. Lalu, Rasulullah menatap puterinya bagian demi bagian wajah anaknya itu hendak dikenang. ”Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan si dunia. Dialah malaikat maut, “Kata Rasulullah.


Fatimah pun menahan ledakan tangisannya. Malaikat maut datang menhampiri, tepi Rasulullah menyakan kepada jibril tidak ikut sama menyertainya. Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit dunia menyambut Ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini. “Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?” tanya Rasulullah dengan suara yang amat lemah. “Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti Ruhmu. Semua Syurga tebuka lebar menati kedatanganmu,” kata Jibril. Tapi itu ternyata tidak membuatkan Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan.

“Engkau tidak senang mendengar kabar ini?” tanya Jibril lagi.

“Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?”

“Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku:”Kuharamkan Syurga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada si dalamnya,” kata Jibril.

Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan Ruh Rasulullah ditarik. Nampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. “Jibril, betapa sakit Sakaratul maut ini.” Perlahan Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam. Ali yang di dampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril memalingkan muka. “Jijikah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?” tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu. “Siapkah yang danggup, melihat kekasih Allah direnggut ajal?” kata Jibril.
Sebentar kemudian terdengar Rasulullah memekik, karena sakit yang tidak tertahankan lagi.”Ya Allah, Dahyat dengan maut ini, tumpahkan saja semua siksa maut kepadaku, jangan pada umatku.” Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak membisikan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya. “Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimamuku, peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu.”

Di luar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kemudian mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan.

“Ummatii, Ummatii, Ummatii?”-“Umatku, Umatku, Umatku?” dan, berakhirlah hidup manusia mulia yang memberi sinar itu. Kini,mampuhkah kita mencintai sepertinya? Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa baarik wasalim ‘alaihi. Bertapa cintanya Rasullah kepada kita. Kirimkan kepada sahabat-sahabat muslim lainnya agar timbul kesedaran untuk mencintai kita. Karena sesungguhnya selain dari pada itu hanyalah fana belaka.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan